Catatan Perjalanan Pendakian Gunung Kahung

"Pelabuhan Tiwingan Riam Kanan"

Pendakian kali ini menjadi salah satu pengalaman berharga yang sulit saya lupakan. Pada tanggal 30 Agustus 2025, saya memulai perjalanan menuju Gunung Kahung, sebuah gunung yang sudah lama saya dengar namanya dari cerita para pendaki lain. Gunung ini cukup terkenal karena jalurnya menantang, panorama alamnya indah, dan sering kali menghadirkan pengalaman unik bagi siapa pun yang mencobanya.

Dalam perjalanan kali ini saya ditemani oleh Amin, teman yang sebelumnya juga bersama saya ketika melakukan pendakian tektok di Gunung Halau-halau. Kami berdua sudah cukup sering mendaki bersama, sehingga sudah saling mengerti ritme perjalanan, kapan harus beristirahat, dan bagaimana saling membantu ketika salah satu merasa lelah. Hal ini sangat penting, karena pendakian bukan hanya sekadar kekuatan fisik, tetapi juga kekompakan dan rasa saling percaya.

Rencana untuk mendaki Gunung Kahung sebenarnya sudah kami buat cukup lama. Berkali-kali kami membicarakannya, bahkan sudah beberapa kali menentukan tanggal keberangkatan, namun entah mengapa selalu saja tertunda. Kali ini akhirnya rencana itu benar-benar terlaksana. Pada awalnya, kami merencanakan berangkat pada hari Jumat, tetapi Amin masih bimbang karena pada tanggal 3 September ia akan melaksanakan wisuda. Ia khawatir jika perjalanan ini terlalu mepet dengan jadwal penting tersebut. Saya pun tidak ingin memaksanya dan lebih memilih menunggu. Namun ternyata, setelah berpikir cukup lama, Amin tiba-tiba mengagetkan saya dengan ucapannya: “Bagaimana kalau kita berangkat besok saja?” Saya sempat terdiam, kemudian merasa bisa, dan langsung menyetujui idenya.

Persiapan Sebelum Berangkat

Keesokan harinya, sejak pagi buta saya sudah mulai sibuk menyiapkan perlengkapan. Bagi saya, persiapan adalah kunci penting sebelum mendaki. Karena tujuan kami adalah pendakian tektok naik-turun tanpa bermalam di jalur maka saya hanya membawa kebutuhan seperlunya. Saya menyiapkan alat tidur sederhana, perlengkapan mandi, pakaian ganti, dan beberapa kebutuhan pribadi lain. Untuk bekal logistik, saya memilih membawa 5 batang Fitbar, 2 botol Pocari Sweat, dan 1 botol Coca-Cola. Saya percaya asupan manis dan bergula akan sangat membantu untuk menambah energi di tengah perjalanan panjang.

"Logistik Pendakian"

Sekitar pukul 2 siang, kami berkumpul di tempat saya. Sebelum benar-benar berangkat, saya menyempatkan diri membeli nasi padang untuk dimakan di kapal. Saya tahu bahwa saat dalam perjalanan biasanya selera makan saya menurun, sehingga saya perlu membawa makanan yang cukup mengenyangkan. Kami sebenarnya sudah membuat janji dengan kapal (taksi air) sekitar pukul 3 sore, tetapi kenyataannya kami baru bisa berangkat sekitar pukul setengah lima sore. Hal ini karena harus menunggu beberapa warga yang masih menghadiri acara tahlilan.

"Penumpang Kapal"

Perjalanan kapal dari Pelabuhan Tiwingan Riam Kanan menuju Desa Belangian memakan waktu kurang lebih 1,5 jam. Sepanjang perjalanan, saya menikmati pemandangan danau yang tenang dengan latar pegunungan yang menjulang. Angin sore berhembus lembut, riak air bergelombang kecil, dan suara mesin kapal berpadu dengan percakapan ringan di antara penumpang lain, menciptakan suasana yang damai sekaligus penuh antisipasi.

"Pemandangan di perjalanan"

Tiba di Basecamp

Kami tiba di Desa Belangian sekitar pukul 6 sore. Setelah registrasi dan menyelesaikan pembayaran, kami langsung menuju basecamp. Saat itu saya benar-benar terkejut karena basecamp di Kahung ternyata sangat estetik. Bangunannya didominasi bambu dengan arsitektur sederhana namun menarik, jauh lebih bagus daripada basecamp gunung-gunung lain yang pernah saya datangi. Selain itu, ada juga warung kecil yang menjual makanan dan camilan.

"Desa Belagian"
"Basecamp sekaligus warung"

Karena perut mulai lapar setelah perjalanan panjang, saya membeli tahu goreng dan beberapa camilan ringan. Setelah itu saya mandi dan bersiap untuk tidur. Namun sebelum benar-benar beristirahat, saya sempat berbincang dengan pendaki lain yang berasal dari Banjarmasin, Tanah Laut, hingga Kabupaten Banjar. Walaupun baru pertama kali bertemu, suasana perbincangan terasa hangat. Kami saling bertukar cerita pengalaman pendakian, berbagi tawa, dan merasa seperti sudah saling mengenal sejak lama.

Sekitar pukul 10 malam saya masuk ke dalam basecamp untuk tidur. Sayangnya, tidur saya tidak begitu nyenyak karena banyak nyamuk. Saya terbangun sekitar pukul setengah tiga dini hari, dan ternyata Amin juga terbangun. Kami berdiskusi sebentar, lalu sepakat untuk memajukan jadwal pendakian. Rencana awal yang semula pukul 5 pagi akhirnya kami ubah menjadi pukul setengah 4 pagi.

Perjalanan Menuju Puncak

Sebelum berangkat, kami menyiapkan sarapan ringan untuk mengisi tenaga. Karena tidak tahu apakah ojek tersedia di jam dini hari, kami memutuskan berjalan kaki dari basecamp menuju ujung paving. Perjalanan yang biasanya memakan waktu 2 jam, bisa kami tempuh hanya dalam 1 jam lebih sedikit berkat semangat yang masih tinggi.

Di tengah perjalanan, Amin tiba-tiba berhenti. Ia melihat sepasang mata menyala di kegelapan, dengan bayangan tubuh hewan besar. Kami menduga itu adalah macan, karena memang Gunung Kahung dikenal sebagai habitat satwa liar. Jantung saya sempat berdebar kencang, tetapi kami memilih tetap tenang dan melanjutkan perjalanan.

Setelah tiba di ujung paving, kami mendapati banyak pendaki lain yang kelelahan dan sedang menunggu ojek. Ternyata, ojek baru mulai beroperasi sekitar pukul 6 pagi. Kami pun melanjutkan perjalanan menuju Pos 1 yang hanya berjarak sekitar 15 menit. Dari sana, perjalanan terus berlanjut sekitar 25 menit menuju Pos 2, lalu 1 jam menuju Pos 3 dengan menyeberangi sungai besar berarus deras. Syukurlah, kondisi sungai saat itu aman dilalui. Dari Pos 3 menuju Pos 4 memakan waktu sekitar 50 menit, dan menurut saya pemandangan di Pos 4 adalah yang paling indah dibanding pos-pos lainnya.

Sejak meninggalkan ujung paving, hujan deras turun nyaris tanpa henti hingga menjelang puncak. Hujan sempat sedikit reda, namun tidak berlangsung lama dan kembali mengguyur jalur pendakian. Meski begitu, berkat jas hujan yang kami kenakan, pakaian dan vest tetap cukup kering sehingga tidak terlalu mengganggu perjalanan. Dengan kondisi jalur yang licin, kami terus melangkah tanpa singgah untuk beristirahat. Dari Pos 4 menuju Pos 5 membutuhkan waktu sekitar 1 jam, kemudian 1 jam lagi menuju Pos 6, hingga akhirnya dari Pos 6 ke puncak hanya sekitar 30 menit.

Di puncak bayangan menjelang puncak sesungguhnya, kami sempat berhenti sejenak untuk berfoto di spot terkenal yang banyak tersebar di media sosial. Tidak lama kemudian, akhirnya kami tiba di puncak Gunung Kahung. Namun sayangnya, panorama luas yang biasanya terlihat dari puncak tidak tampak hari itu. Kabut tebal menyelimuti sekeliling, seolah gunung memilih menyembunyikan keindahannya. Meski begitu, rasa lega dan bahagia tetap menyelimuti kami, karena berhasil sampai ke titik tertinggi setelah perjalanan panjang di tengah hujan.

"Spot foto Favorit"

Di puncak, kami bertemu dengan beberapa pendaki lain. Suasananya tetap terasa hangat meski cuaca dingin dan berkabut. Kami berbincang, bercanda, berfoto, serta menikmati udara sejuk yang membuat momen itu tetap istimewa.

"Puncak Gunung Kahung"

Insiden Saat Turun

Setelah puas menikmati puncak, kami memutuskan untuk turun. Awalnya perjalanan turun terasa normal, namun ketika hampir sampai di Pos 5, kami mendengar teriakan minta tolong. Saat kami mendekat, ternyata ada tiga perempuan di jalur, dan dua di antaranya dalam kondisi lemas.

Ternyata mereka kehabisan logistik, dan yang lebih mengejutkan, dua teman laki-laki mereka sudah turun lebih dulu meninggalkan mereka. Kami semua kaget sekaligus kecewa mendengar cerita itu, karena pendakian seharusnya dilakukan dengan kebersamaan, bukan meninggalkan rekan ketika sedang kesulitan.

Kami bersama rombongan pendaki lain berusaha memberikan bantuan seadanya. Saya memberikan Fitbar dan Minuman Bersoda untuk menambah energi mereka, lalu kami mengiringi mereka turun perlahan hingga tiba di Pos 3. Di pos tersebut, mereka akhirnya mendapat makanan dan bantuan lebih lengkap dari rombongan yang sejak awal ikut mengiringi turun bersama. Setelah keadaan dirasa cukup aman, kami pun berpisah dan melanjutkan perjalanan masing-masing.

"Mengiringi Korban"

Kembali ke Basecamp

Kami melanjutkan perjalanan turun hingga tiba di ujung paving sekitar pukul 6 sore. Karena kaki sudah sangat lelah, kami akhirnya menggunakan ojek untuk kembali ke basecamp. Tukang ojek yang membawa saya bernama Amang Sahrian.

Di perjalanan, saya bercerita kepadanya tentang pengalaman melihat macan dini hari tadi. Supian membenarkan bahwa memang ada macan dan beberapa satwa liar lain di sekitar Gunung Kahung. Namun ia meyakinkan bahwa sejauh ini tidak pernah ada kasus satwa-satwa tersebut menyerang manusia, karena ekosistem masih terjaga dan makanan mereka masih cukup. Ucapannya membuat saya merasa lebih tenang.

Sesampainya di basecamp, kami membersihkan diri, makan, lalu segera beristirahat. Kelelahan luar biasa membuat kami sudah tertidur lelap bahkan sebelum pukul 9 malam.

"Makan setelah 34 km dan 13 Jam Perjalanan"

Perjalanan Pulang

Keesokan paginya, sekitar pukul 7, kami mendapat kabar bahwa kapal menuju Pelabuhan Tiwingan akan berangkat pukul 7.30. Kami segera bergegas, dan untungnya kapal masih menunggu penumpang lain sehingga kami tidak tertinggal.

"Pelabuhan/dermaga Belagian"

Perjalanan kapal kali ini terasa lebih lama karena hampir semua penumpang, termasuk saya, lebih banyak tidur karena tubuh benar-benar lelah. Sekitar pukul 11.30 siang, kapal akhirnya merapat di Pelabuhan Tiwingan Aranio. Dari sana, perjalanan kami berakhir, dan kami pun pulang ke tempat masing-masing dengan membawa banyak kenangan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tektok Menuju Puncak: Petualangan Gunung Halau-Halau

BUKIT MANJAI