Tektok Menuju Puncak: Petualangan Gunung Halau-Halau

Pada tanggal 9 Januari 2025, aku memulai perjalanan dari Banjarbaru menuju basecamp di Kampung Kiyu, tempat awal pendakian Gunung Halau-Halau. Perjalanan ini penuh cerita, namun izinkan aku menyederhanakannya dan langsung melompat ke bagian paling menarik dari pengalaman ini.

Kami tiba di Barabai sekitar pukul 17.00 sore. Setelah istirahat sejenak di salah satu toko dan mengisi bensin, kami melanjutkan perjalanan ke Kampung Kiyu. Jalan menuju kampung ini cukup unik—melewati jalur Kesatria atau Melawi, seperti yang dikatakan warga setempat. Di tengah perjalanan, kami mampir untuk membeli beberapa bahan makanan, termasuk mi instan dan telur. Yang mengejutkan, harga mi di sana hanya Rp3.000, lebih murah daripada di kota. Aku sempat berpikir, siapa yang menyubsidi harga di kampung ini?


Pemandangan Menakjubkan di Perjalanan

Saat perjalanan berlanjut, kami disuguhi pemandangan luar biasa: lembah-lembah hijau, jalan berkelok di tepi jurang, dan tentu saja matahari terbenam atau golden hour yang memukau. Setelah menikmati keindahan alam, kami melanjutkan perjalanan dalam gelap. Jalur bergantian antara hutan dan kampung membuatku merasa masuk ke dunia yang berbeda.

Setibanya di gerbang Kampung Kiyu, kami berhenti untuk berfoto. Di gerbang tersebut, terpampang tulisan:
"Selamat datang di wilayah hak kelola adat Desa Kiyu. Ini hutan adat kami, bukan hutan negara (putusan MK/35/TUU-X/2012)."
Kalimat ini mengingatkanku pada perjuangan masyarakat adat melawan pihak-pihak yang ingin menambang pegunungan Meratus demi kekayaan pribadi tanpa peduli masa depan anak cucu.

 


Basecamp Kampung Kiyu

Kami tiba di basecamp dan bertemu beberapa pendaki yang baru turun dari Gunung Halau-Halau. Salah satu dari mereka, seorang mantan atlet, berbagi banyak pengalaman. Kami mengobrol panjang lebar tentang cuaca, rute pendakian, dan tips-tips berguna. Meski berniat tektok (tidak bermalam di puncak), kami tetap menikmati malam di basecamp dengan memasak dan berbincang.

Malam itu terasa panjang. Hingga pukul 03.00 dini hari, kami belum juga tidur. Lelah dan lapar, akhirnya kami memasak lagi untuk mengisi energi. Rencana awal kami untuk mendaki pukul 04.00 pun mundur. Kami baru memulai perjalanan pukul 05.21 pagi, pada 10 Januari 2025. Karena kita harus tidur terlebih dahulu walaupun hanya sebentar


Perjalanan Menuju Puncak

Udara pagi yang segar menyapa kami dengan lembut saat langkah pertama kami menapaki jalur pendakian. Suara gemericik air sungai yang mengalir di sepanjang jalur memberikan ketenangan yang menyenangkan, seolah menjadi pengiring setia dalam perjalanan kami. Namun, suasana yang damai ini perlahan tergantikan oleh tantangan pertama, yaitu tanjakan panjang dan terus menerus menuju Pos 1. Langkah demi langkah, tenaga kami mulai terkuras, namun semangat tetap menyala karena pemandangan sekitar yang asri. Setelah berjalan selama sekitar 1,5 jam, kami akhirnya tiba di Pos 1, Tiranggang, sebuah titik persimpangan penting yang juga menghubungkan jalur menuju Kampung Juhu.



Dari Pos 1, kami melanjutkan perjalanan menuju Pos 2, Sungai Karuh, dengan jarak sekitar 5 kilometer. Jalur ini didominasi oleh turunan yang cukup panjang. Awalnya, kami menganggap turunan ini sebagai "bonus", karena terasa lebih mudah dibandingkan tanjakan sebelumnya. Namun, kesadaran segera datang bahwa jalur ini akan menjadi tantangan berat saat perjalanan pulang nanti. Di Sungai Karuh, kami berhenti sejenak untuk beristirahat. Tempat ini memanjakan kami dengan pemandangan air terjun yang menakjubkan, menjulang setinggi 60 meter, mengalir dengan gemuruh yang menyegarkan suasana.



Perjalanan menuju Pos 3, Jumantir, menjadi fase yang paling menantang. Medan semakin sulit, dengan akar-akar pohon yang menjalar seperti jebakan alami, batu-batu licin yang harus dilalui dengan hati-hati, dan tanjakan curam yang menguras tenaga. Meskipun tubuh kami mulai terasa lelah, kami tetap melangkah maju. Di Pos 3, kami mengisi botol-botol kami dengan air segar dari sumber mata air yang tersedia, menyiapkan diri untuk perjalanan berikutnya. Pos ini juga memiliki aura mistis tersendiri, dengan berbagai cerita lokal tentang penampakan yang kerap terjadi di sekitarnya. Namun, kami memilih untuk tetap fokus pada tujuan kami.



Dari Pos 3 ke Pos 4, perjalanan semakin menguji fisik dan mental kami. Jalurnya beragam, mulai dari medan menanjak hingga menurun tajam, dan kami harus melewati pohon Kariwaya yang dianggap sakral oleh masyarakat Dayak. Pohon ini begitu besar dan megah, membentuk semacam gerbang alami yang harus kami lewati, memberikan nuansa magis pada perjalanan. Setelah perjuangan yang tidak mudah, kami tiba di Pos 4, Penyaungan. Tempat ini memiliki nilai spiritual bagi masyarakat setempat, sering digunakan untuk melakukan ritual adat. Ayam putih yang berkeliaran di sekitar pos menjadi bukti tradisi warga yang masih hidup hingga kini.


Jarak dari Pos 4 menuju puncak Gunung Halau-Halau hanya sekitar 380 meter, namun medan yang harus kami hadapi sangatlah terjal, licin, dan dipenuhi akar-akar pohon yang membuat langkah kami semakin berat. Setiap pijakan terasa seperti perjuangan, dengan kaki sering kali berada di posisi yang lebih tinggi dari dada. Waktu terasa berjalan lambat, namun tekad kami tetap kuat. Setelah mendaki selama kurang lebih 30 menit, kami akhirnya mencapai puncak.





Di puncak, kami hanya singgah sebentar, menikmati oatmeal sambil berfoto dan mengabadikan momen. Pemandangan dari atas begitu memukau, membuat semua kelelahan terbayar. Gunung-gunung yang menjulang di kejauhan, kabut tipis yang menyelimuti, dan udara segar yang menyentuh kulit menciptakan suasana yang sulit dilupakan. Karena kami hanya berniat tektok, kami segera bersiap untuk turun setelah puas menikmati keindahan alam dari puncak Gunung Halau-Halau. Setiap langkah turun membawa kami lebih dekat pada akhir perjalanan, namun kenangan dari pendakian ini akan selalu terpatri dalam ingatan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah Kelas Kita yang Tersirat di Langit

BUKIT MANJAI